Category: ‘Ibädah


 

بسم الله الرحمن الرحيم

أعوذ بالله من الشيطان الرجيم. الشمس والقمر بحسبان

 

          Selaku makhluk yang berpikir, seorang insan senantiasa merenungkan apa yang ada di sekitarnya, tanpa terkecuali objek-objek benda langit seperti Matahari dan Bulan. Rasa penasaran yang mendorong seorang insan, alKhäliq memberikan hidayah hingga menuntun manusia untuk memahami sunnatulläh (hukum alam yang bekerja). Bukan perkara yang mudah mempelajari alam, seorang insan harus memiliki sifat sabar dalam mengumpulkan data pengamatan hingga bertahun-tahun lamanya untuk sekedar mengamati tingkah laku alam semesta kemudian menghitung dan memprediksinya hingga konsisten dengan fakta empiris di lapangan.

          Seorang utusan bernama Akhnükh yang dikenal dengan Nabi Idrïs AS. mengemban amanah yang cukup berat untuk membimbing umat manusia, salah satunya memahami dan memasyarakatkan entitas ruangwaktu kepada kaum Babilonia, Irak. Dengan menerima wahyu, sebagaimana dalam alHikmah surat arRahmän ayat lima, الشمس والقمر بحسبان “Matahari dan Bulan beredar menurut perhitungan”. Ilmu ini berhasil menyelamatkan eksistensi manusia dari kebiasaan nomaden dalam kelompok kecil pemburu dan pengumpul makanan untuk beradaptasi menghadapi alam, baik satwa liar maupun iklim yang tidak bersahabat. Dimulailah revolusi dalam cara kita hidup, pendahulu kita mempelajari cara membentuk lingkungan mereka, menjinakkan tanaman dan hewan liar, mengolah lahan dan menetap serta memiliki lebih banyak barang daripada yang bisa kita bawa. Ini merubah segalanya untuk pertama kalinya dalam sejarah kita hingga menemukan cara menulis dan itu tak lama sebelum kita mencatat berkarung-karung hasil bumi.

          Benda langit Matahari melahirkan sistem perhitungan Kalender Matahari sedangkan Bulan melahirkan sistem penanggalan Bulan. Tidaklah mudah menjaga siklus waktu, lambat laun, siklus musim mulai bergeser karena tidak ada yang melanjutkan dalam memelihara waktu untuk mengkalibrasi atau menyetel ulang sesuai dengan sunnatulläh, termasuk di dalamnya syarat kepentingan segelintir orang. Hal ini terus berlanjut hingga tercatat dalam sejarah imperium Romawi sebagaimana pendahulunya yang menyalahgunakan waktu untuk kepentingan intrik politisi, termasuk di antaranya oleh Pontifex sehingga musim tidak lagi pada waktunya. Saking kacaunya, sistem kalender tradisional Romawi dinamakan “Era Bingung”. Oleh karena itu, Julius Caesar menyisipkan 90 hari untuk lebih mendekati ketepatan pergantian musim sebelum dibuatnya Kalender Julian atas saran seorang astronom Sosigenes tahun 1 Januari 45 STU. (Sebelum Tarikh Umum). Penyisipan ini sedemikian cerobohnya sehingga bulan-bulan dalam kalender itu tidak lagi tepat. Setelah deklarasi penanggalan Julian digunakan, dengan tepat sesuai dengan dinamika iklim, lambat laun, sepeninggal Julius Cesar, Kalender Julian ini mulai tidak tepat karena penyisipan tahun kabisat tidak sesuai dengan semestinya, dalam satu tahun Julian sama dengan 365,25 hari atau sama dengan 365 hari 6 jam sehingga setiap empat tahun sekali ada tambahan satu hari kabisat yang sejatinya satu tahun tropik selama 365,2421 hari atau setara 365 hari 5 jam 48 menit 37,44 detik. Selisih antara tahun Julian dan tahun tropis Matahari bernilai 0,0079 hari atau sama dengan 11 menit 22,56 detik/tahun, sekalipun nilainya sangat kecil, jika dibiarkan terus-menerus tidak dikalibrasi selama 126,58 tahun, berharga satu hari. Selama berabad-abad, perbedaan waktu ini semakin kentara dengan selisih 10 hari dari seharusnya, hal ini disadari saat vernal equinox posisi Matahari tepat berada di khatulistiwa langit penanda musim semi setiap tanggal 21 Maret 325 TU. dihitung saat Konsili Nicea bagi kawasan Lintang Utara. Yang terjadi, ternyata pada tanggal 11 Maret. Paus Gregorius XIII memutuskan menambahkan 10 hari pada Jum’at, 4 Oktober 1582 TU., dimulailah era Kalender Gregorian keesokan harinya menjadi Sabtu, 15 Oktober 1582 TU. sehingga tidak ada tanggal 5 sampai 14 Oktober tapi langsung loncat demi menyelamatkan kaum salibis pada ketidaktepatan pelaksanaan ritual keagamaan mereka seperti halnya paskah dan natalan tidak pada waktunya selama berabad-abad. Perubahan aturan kalender ini setidaknya memiliki ketelian lebih baik daripada pendahulunya, satu tahun Gregorian bernilai 365,2425 hari, hasil yang cukup dekat dengan rata-rata tahun tropis Matahari dengan selisih 0,0004 hari/tahun atau setara dengan 34,56 detik/tahun. Jika diakumulasi, penamabahan 1 hari setiap 2.500 tahun sekali, dibandingkan dengan Julian memiliki ketepatan 94,9%.

          Berbeda dengan kaum muslimin, warisan intelektual para ulama yang saintis mengelompokan entitas waktu pada salah satu cabang Ilmu Falak yang disebut dengan Ilmu Mïqät. Mengapa para ulama memiliki perhatian yang lebih dengan waktu? Tentu, perhatian lebih ini didorong atas kefaqihan dalam mengimplementasikan kaidah Ushül Fiqh, أمر بالشيئ أمر بوسائله untuk membuat instrumen yang mampu mencatat dan menunjukkan waktu-waktu dalam ibadah. Dengan memanfaatkan keteraturan gerak Matahari menentukkan waktu-waktu shalät dan perubahan fase-fase Bulan yang teratur untuk menentukkan kalender. Bermula dari astrolabe, sebuah device simulasi gerak benda langit secara real tiga dimensi menjadi beberapa lempengan dua dimensi yang mampu memprediksi sunnatulläh waktu-waktu ibadah maupun astronomis lainnya secara tepat seperti kapan bintang Sirius terbit pada waktu malam yang menunjuk pada skala waktu dengan keakurasian hingga menit waktu untuk keperluan navigasi bahkan pertanian, dengan posisi benda langit pada tempatnya pun bisa menentukkan waktu saat pengamatan menunjukkan waktu pukul berapa secara akurat. Semakin besar astrolabe, tingkat keakurasian memungkinkan hingga detik waktu. Kecanggihan device analog ini setara dengan smartphone zaman kontemporer atau generasi milenial. Sesempurna apapun astrolabe, tidak bisa digunakan saat objek langit sebagai acuan pengamatan tertutup oleh awan. Atas kekurangan ini, dibuatlah Jam Gajah secara mekanik buatan tangan seorang ulama yang saintis bernama alJazarï pada akhir abad 11 dengan disain memadukan berbagai budaya peradaban maju di seluruh dunia. Tentu saja, jam disain universal ini sekaligus sebagai peletak dasar teknik dan robotik pertama atas kesadaran untuk kepentingan waktu ibadah dikala mendung. Tidak seperti astrolabe, jam gajah ini akan dikalibrasi setiap dua kali sehari, saat Matahari terbit dan terbenam.

          Budaya Sunda pun tidak lepas dari kearifan lokal dengan warisan wanci dalam menentukan waktu, sekalipun tidak semegah dan seakurat peradaban kaum muslimin. Satuan waktu yang paling kecil adalah jam, tidak sampai menit apalagi detik waktu. Digunakan berdasarkan keadaan alam posisi Matahari dengan beragam istilah. Kita tidak bisa menyalahkan atas keterlambatan seseorang selama 30 menit atau lebih selama tidak melebihi waktu janjiannya, misalnya wanci haneut moyan. Jika kita konversikan ke dalam analog waktu, masuk pukul 8 hingga pukul 9 pagi yang disebut wanci rumangsang. Berbeda dengan sekarang, lewat dari satu menit sudah dianggap terlambat karena satuan terkecil waktunya detik. Contoh kasusnya dalam transportasi baik darat, laut, maupun udara seperti kereta api dan maskapai penerbangan. Sedemikian pentingnya waktu saat ini, apalagi setelah dibuktikan dengan menembakan laser ke arah Bulan kemudian dipantulkan kembali ke Bumi oleh retroreflektor yang ada di permukaan Bulan pada misi Apollo 11 (Lunar Laser Ranging Experiment) menunjukkan bahwa Bulan senantiasa menjauh dari Bumi setiap tahun sebesar 38 mm atau setara 3,8 cm/tahun. Hal ini berpengaruh pada jam atom yang menujukkan bahwa lama hari di Bumi meningkat sekitar 15 mikrodetik/tahun. Bandingkan jika tidak ada Bulan yang mengunci gravitasi Bumi, Bumi senantiasa berotasi mencapai delapan jam dalam satu hari, setara tiga kali lebih cepat.

          Menyiasati perubahan waktu, para saintis mengenalkan detik kabisat, merupakan penyisipan satu detik ke dalam kalender dengan maksud agar standar waktu yang disiarkan kepada masyarakat umum dipertahankan dengan nilai waktu rata-rata Matahari berdasarkan pengamatan astronomi yang dipelihara oleh 200 jam atom sangat akurat di lebih dari 50 laboratorium nasional di seluruh dunia. Semenjak tahun 1972 – 2018 sudah dikalibrasi 27 detik di antaranya 11 detik pada 30 Juni dan 16 detik pada 31 Desember oleh Waktu Atom Internasional (International Atomic Time). Atas kepedulian ini, kita tidak menyadari ada perubahan waktu satu detik karena sudah diatur secara otomatis menggunakan perangkat GPS smartphone, berbeda dengan jam analog harus disetting secara manual. Alhamdulilläh, dengan kehendak al’Azïz, saat ini para saintis diberikan kesempatan untuk memegang amanah memiliki power dalam menjaga waktu.

          Mafhum mukhalafah, para saintis jauh lebih peduli dengan Ilmu Mïqät ini sekalipun tidak ada urusan dengan kebutuhan waktu-waktu ibadah, seyogiannya kita sebagai kaum muslimin yang beriman jauh lebih peduli. Jika hal ini terus berlanjut, akan merusak siklus peredaran Bulan dengan satu siklus berlangsung selama 10.631 hari yang terdiri dari 11 tahun kabisat (tahun panjang 355 hari/tahun) dan 19 tahun basithah (tahun pendek dengan 354 hari/tahun). Tidak boleh lebih ataupun kurang. Meskipun kalender Bulan memiliki ketelitian yang jauh lebih akurat dibandingkan kalender Mataharinya Julian dari sejak pertama kalinya dibuat, dengan menghitung satu siklus rata-rata Bulan 30 tahun sama dengan 10.631 hari tadi dan membaginya dengan 360 selama satu periode, bernilai 29,530556 hari sebanding dengan 12 jam 44 menit 0,04 detik, dibandingkan dengan rata-rata satu bulan sinodis selama 29,530589 hari seharga 12 jam 44 menit 2,89 detik yang memiliki selisih 0,000033 hari atau sama dengan 2,85 detik/bulan, penambahan 1 hari setiap 30.315,79 bulan sekali atau setara 2.526,32 tahun sekali. Sedikitnya 1% lebih baik dari kalender Gregorian. Apalagi dengan siklus Bulan lain yang memiliki keteraturan khasnya masing-masing seperti siklus meton yang memiliki siklus perulangan setiap 6.939,69 hari atau setara dengan 19 tahun 21 menit 18, 82 detik dan berlangsung sekitar 5 siklus, jika di Pajagalan saat ini 16 Oktober 2019 Bulan terbit pukul 17:17 WIB. dan berada di rasi Sagittarius maka 19 tahun kemudian in syã-alläh berada di rasi Sagittarius kembali. Selain siklus meton, ada siklus tritos (sunnatulläh yang berulang setiap ≈ 3.986,63 hari atau setara dengan ~ 10 tahun 21 hari 57 menit 38,95 detik)  dll.

          Iftiraq (perbedaan) ini bisa hilang dengan sendirinya ketika semua ormas terbuka dengan pemikiran yang dinamis sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan untuk mencari kebenaran apa yang dimaksud dalam alQur-an dan asSunnah. Terbukti, dalam waktu dekat, Pemerintah akan mengganti kriteria darurat yang diputuskan sejak tahun 1998 Tarikh Umum (TU.) silam di Cisarua, Bogor dengan kriteria Imkan Ru-yat MABIMS (Menteri Agama Brunei Darus Salam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) diringkas menjadi lebih dari 2, 3, dan 8 masing-masing menyatakan tinggi, elongasi (diagonal sudut pisah Matahari – Bulan) dan umur Bulan pasca konjungsi dalam satuan jam. Kemudian tahun 2011 dengan penegasan sedikit modifikasi, terdiri dari dua syarat: Parameter tinggi Bulan dan umur Bulan atau Parameter tinggi Bulan dan elongasi Bulan. Bahkan ketiga negara seperti Brunei Darus Salam, Malaysia, dan Singapura tahun 2018 sudah meninggalkan kriteria ini. In syã-alläh dalam waktu dekat, tahun 2020 TU. Pemerintah akan mengubah kriteria yang digunakan saat ini menjadi kriteria yang mirip dengan PERSIS. Mengapa disebut mirip? Perbedaannya pada penggunaan parameter yang digunakan. PERSIS menggunakan Beda Tinggi antara Bulan dan Matahari sementara Pemerintah, Ketinggian. Sekalipun berbeda parameter, memiliki kesimpulan yang sama, yaitu Beda Tinggi 4° yang dihitung dari pusat kedua objek benda langit baik Matahari dan Bulan sedangkan Ketinggian dihitung dari ufuq atau kaki langit sebesar 3°. Jika kita ubah parameter Beda Tinggi ke Ketinggian, memiliki selisih 1°, begitu pula sebaliknya, dari Ketinggian ke Beda Tinggi dengan menambahkan 1°. Artinya, sama saja. Namun demikian, PERSIS memilih Beda Tinggi berdasarkan penggunaan secara astronomis yang digunakan dunia secara baku. Dan yang terakhir, parameter Elongasi yang memiliki nilai yang sama, yaitu 6,4°.

          Kisah yang indah terjadi pada shahabat Nabi SAW yang berbeda pendapat terkait wudhu dalam kondisi tidak ada air kemudian bertayamum dan shalät, di tengah perjalanan menemukan air. Salah satu shahabat menyatakan cukup dengan tayamum sementara shahabat yang lain harus mengulang shalät dengan berwudhu. Selesai shalät, dua orang shahabat Nabi lantas tidak memusuhi satu sama lain sampai bertemu dengan Nabi untuk menanyakan kebenaran hasil ijtihad. Dengan kebenaran ini, kita tidak menggunakan ijtihad yang salah hingga mengubah status hukum – bukan produk ijtihad kembali jika menemukan kasus yang sama, dan kasus ini dilakukan satu kali.

          Kisah lain yang tidak kalah indahnya seperti yang dialami pada hadïts Kuraib RA. ketika Ummu Fadhl binti alHärits RA. mengutus Kuraib menemui Mu’äwiyah di Syäm menjelang bulan Ramadhän. Kuraib melihat Hiläl bulan Ramadhän di Syäm pada malam Jum’at. Sekembalinya di Madinah pada akhir Ramadhän, bertemu dengan Ibnu Abbäs RA. tentang Hiläl di Syäm. Kuraib menjawabnya yang melihat Hiläl pada malam Jum’at sementara Ibnu Abbäs melihat pada malam Sabtu, kemudian ditanyakan ke Ibnu Abbäs, “Apakah tidak cukup bagimu ru-yat dan shaumnya Mu’äwiyah?” yang bisa diwakilkan oleh satu orang atau negeri Islam yang pertama melihat Hiläl. Jawab Ibnu Abbäs, “لا, هكذا أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم”, “Tidak, begitulah Rasülulläh SAW. telah memerintahkan kepada kami”. Meskipun peristiwa ini terjadi pasca Rasül wafat, saat kekhalifahan Islam menyatukan semua negeri yang tertindas oleh imperium Romawi dan Babilonia, Ibnu Abbäs menegaskan pada hadïts ini dengan amaranä Rasülulläh SAW. yang dihukumi marfu’ hukman, bukan produk hasil ijtihad Ibnu Abbäs tapi langsung bersumber dari Nabi SAW. Jika kita cermati, banyak hadïts dengan matan (redaksi) yang sama terkait perintah bershaum, ada huruf ­lämu pada kalimat لرؤية, menunjukkan sababul hukmi, artinya, sesuatu yang jelas, dapat diukur, yang dijadikan pembuat hukum sebagai tanda adanya hukum dan dengan tidak adanya, tidak ada hukum. Di sini, hubungan antara perintah shaum dengan mengamati Hiläl tidak dapat diketahui dan sulit dipahami oleh akal sehingga ru-yat Hiläl ini menjadi sebab masuknya waktu, awal penanggalan Bulan – di samping kita tidak mengetahui hubungan kserasiannya, kita tidak mungkin berbuat untuk meredupkan cahaya lembayung mega merah ataupun menguatkan cahaya Hiläl seenak hati kita untuk segera datangnya kewajiban itu.

          Semasa Nabi SAW. hidup, tidak pernah melakukan ru-yat, akan tetapi mempercayakan para shahabat untuk melaksanakannya. Terjadi peristiwa ketika para shahabat di Madinah tidak berhasil melihat Hiläl sehingga shaum Ramadhän digenapkan menjadi 30 hari. Keesokan paginya, datang sekelompok kafilah yang memberitahukan bahwa Maghrïb tadi melihat Hiläl sebagaimana diabadikan dalam hadïts عَنْ أَبِي عُمَيْرِ بْنِ أَنَسٍ، عَنْ عُمُومَةٍ لَهُ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، «أَنَّ رَكْبًا جَاءُوا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَشْهَدُونَ أَنَّهُمْ رَأَوُا الْهِلَالَ بِالْأَمْسِ، فَأَمَرَهُمْ أَنْ يُفْطِرُوا، وَإِذَا أَصْبَحُوا أَنْ يَغْدُوا إِلَى مُصَلَّاهُمْ»  “Dari Abï ‘Umayr bin Anas dari bibinya dari kalangan para shahabat Rasülulläh SAW. bahwa sekelompok kafilah datang dan mereka bersaksi bahwa mereka telah melihat Hiläl kemarin. Kemudian Nabi SAW. memerintahkan mereka agar berbuka, dan pagi harinya mereka berangkat ke lapangan untuk shalät (‘Ïdul Fithri)” (Sunan Abï Däwud (1): 300).

          Penyebab yang mempengaruhi para shahabat tidak berhasil melihat Hiläl, di antaranya: Kondisi cuaca yang kurang bersahabat, tertutup oleh awan dan juga debu aerosol yang bertebaran di sekitar ufuk sehingga tertutup oleh kabut khas padang pasir di samping ketinggian Hiläl yang cukup rendah. Rombongan yang melaporkan melihat Hiläl pada Nabi SAW. ada dua kemungkinan, kelompok saudagar yang biasa berdagang atau kelompok Arab suku Badwi yang nomaden. Kecil kemungkinan itu merupakan sekelompok saudagar yang berdagang saat menjelang hari raya. Kelompok yang terakhir merupakan suku Badwi yang biasa hidup nomaden menggemabalakan ternak. Sebagai perbandingan, jarak Mekah dan Madinah sekitar 496 km yang ditempuh dengan berjalan kaki selama 4 hari 4 jam nonstop tanpa istirahat. Titik pengamatan pelapor pasti sangat dekat dengan kota Madinah, diperkirakan pada radius 20 – 30 km. Jika kita lihat, kota Madinah memiliki landskap permukaan tanah yang berbukit-bukit, di sebelah Barat ke arah Utara dengan elevasi 600 mdpl (meter di atas paras laut) dengan bukit yang dekat dengan Masjid Nabawi sejauh 8 km ke arah Barat dengan puncak bukit yang mencapai 910 mdpl, menutupi kaki langit setinggi 2º 13ʹ. Sementara di arah Barat Daya, terdapat bukit kecil paling dekat berjarak 1,37 km dari masjid yang memiliki puncak 655 mdpl yang mampu menutupi kaki langit sebesar 2º 05ʹ maka sangat wajar penduduk Madinah tidak bisa melihat Hiläl, apalagi dengan ketinggian yang sangat kritis pada ketinggian sangat rendah yang dapat teramati tertutup oleh bukit kecil yang ada di sekeliling kota Madinah – bukan saja awan yang menutupi. Orang Arab suku Badwi sangat dekat dengan alam sehingga terbiasa mengesani kemunculan Hiläl dibandingkan masyarakat umum sehingga hampir mustahil salah melihat Hiläl dan juga berada cukup jauh dari bukit-bukit kecil yang menggangu dan menghalangi pandangan seperti halnya penduduk Madinah. Berbeda dengan masyarakat Indonesia di samping para shahabat mustahil berbohong kepada Nabi SAW.. Kejadian pelaporan, besar kemungkinan selesai waktu Dhuha karena Nabi SAW. memerintahkan berbuka shaum dan berlebaran keesokan harinya.

          Bukan rahasia umum lagi, pengamatan di Indonesia secara umum banyak keganjilan di antara para pengamat lain sehingga kami mengenal istilah “mata bionic” karena kesaktian pengamat tradisional jauh lebih sakti dibandingkan pengamat konvensional pengguna teknologi yang sejatinya mampu dibuktikan dengan rekam jejak citra, jauh diuntungkan dalam memenangkan peluang keberhasilan melihat Hiläl. Secara logika sederhana saja penggunaan teleskop dengan diameter lensa objektif 100 mm sebagai alat bantu pengumpul cahaya layaknya detektor pada mata manusia berukuran jauh lebih besar dengan kekuatan pengumpul cahaya 156 kali dibandingkan pupil mata saat bukaan terbesar berukuran 8 mm untuk mengesani objek yang cukup redup seperti Hiläl. Jika diurutkan keberhasilan pengamatan, sejatinya dimulai dari pengamatan menggunakan teleskop dengan detektor kamera + olah citra, teleskop dengan detektor kamera atau mata, baru oleh kasat mata, kemudian terakhir oleh kamera baik DSLR, poket maupun smartphone. Meskipun teleskop jauh diuntungkan dengan memfokuskan ke objek Hiläl secara tepat dan tidak berhasil, namun fakta di lapangan berkata lain, pengguna kasat mata yang selalu berhasil mengesaninya. Dengan demikian, saat ini harus ada pengujian seperti halnya dalam menilai kapabilitas seorang rawi berdasarkan Dhabt dan ‘Adalah. Dhabt ini bisa diukur dengan mengkomparasi data empiris melalui rekam jejak citra – berapa parameter Hiläl bisa dikesani.

          Kaidah Ushül mengajarkan kepada kita الخروج من الخلاف مستحب keluar dari perbedaan adalah dianjurkan. Kaidah anjuran keluar dari perbedaan – bersifat kehati-hatian yang memiliki beberapa syarat, di antaranya: Pertama, dalil ataupun sandaran yang dipakai oleh pendapat yang berbeda itu bukan dalil atau memiliki sandaran yang lemah, Kedua, perbedaan ini tidak bertentangan dengan sunnah tsabitah – sunnah yang tidak diragukan lagi keshahihannya. Disamping itu, jika perkara khilafiyah ini terus berlanjut atau malah dibiarkan, mengapa ada perintah harus menelusuri air yang jernih ke hulu sebagaimana firman Alläh anNisã (4): 59 … فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ… “…Jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Alläh (alQur-an) dan Rasül (sunnahnya)…” dan وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ  “Tentang sesuatu apapun kalian berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Alläh” asySyurä (42): 10 bukan dikembalikan kepada Pemerintah, serta banyak hadïts lainnya yang berkaitan dengan ikhtiläf – salah satunya فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ  “Sesungguhnya sepeninggalku akan terjadi banyak perselisihan. Maka hendaklah kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah Khulafä-ur Rasyidïn. Peganglah ia erat-erat, gigitlah dengan gigi geraham kalian”. (HR. Ibnu Mäjah dari ‘Irbädh bin Säriyah).

          Kaidah ini (keluar dari perbedaan adalah dianjurkan) bukanlah dalil tapi sebagai jalan untuk menentukkan hukum – apalagi bersifat kehati-hatian, jika kita tarik kembali pada kaidah pokok yang masuk ke dalam wilayah ‘ibädah mahdhah yang sangat terikat pada entitas ruangwaktu sebagaimana para ‘ulamã mengajarkan dengan kaidah الْعِبَادَاتُ الْمُؤَقَّتَةُ بِوَقْتٍ تَفُوْتُ بِفَوَاتِ وَقْتِهَا إِلاَّ مِنْ عُذْرٍ Ibadah yang ditentukan pada waktu tertentu tidak bisa didapatkan jika telah keluar waktunya kecuali karena adanya udzur. Bahkan dalil alFurqän secara tegas menerangkan يسألونك عن الأهلة قل هي مواقيت للناس والحج… “Mereka bertanya kepadamu tentang Bulan Sabit. Katakanlah: Bulan Sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji… {QS. alBaqarah (2): 189}”. Apalagi sekarang ada ancang-ancang Pemerintah in syã-alläh merubah kriteria daruratnya supaya mirip/sama dengan PERSIS. Tentu, hal ini menguatkan kriteria astronomis PERSIS gunakan sejak tahun 2013 TU. Lambat laun, Pemerintah beriringan dengan PERSIS karena menggunakan kriteria yang mirip, akan tetapi berbeda halnya dengan kriteria Wujudul Hilal yang senantiasa akan berbeda jika mengalami perbedaan sampai pada akhirnya memutuskan menggunakan kriteria yang sama dengan Pemerintah dan PERSIS. Hal yang harus kita pahami adalah Imkanur Ru-yat itu bukan artinya mungkin tapi memungkingkan/mampu diamati. Jika diartikan mungkin maka berada dalam keraguan. Dalam ibadah, tidak boleh ragu hingga seseorang itu yakin.

          Jika kita kritisi kriteria darurat yang digunakan, dengan kata darurat saja kaidah Ushul Fiqh mengajarkan perkara darurat yang memiliki beberapa batasan: 1) Darurat tersebut benar-benar terjadi, tidak semata-mata praduga atau asumsi belaka. 2) Tidak ada pilihan lain yang bisa menghilangkan madharat. 3) Kondisi darurat tersebut benar-benar memaksa untuk melakukan hal tersebut karena dikhawatirkan kehilangan nyawa atau anggota badannya. 4) Tidak melakukannya dengan melewati batas. Point-point ini sudah melanggar dari batasan kaidah, adanya inkonsisten yang mencari dalih untuk mengamalkan ibadah di luar waktu yang sudah Alläh tetapkan. Apalagi kriteria darurat ini digunakan selama puluhan tahun dipakai yang sejatinya membenturkan dengan kaidah pokok dalam ibadah.

          Pada akhirnya, kami selaku makhluk mukallaf berikhtiar untuk menyampaikan serta mengajak kepada kebenaran dan shabar dengan mengamalkan salah satu surat alFurqän di dalam surat al’Ashr ayat satu sampai tiga وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3) dengan harapan termasuk golongan mukhlish.

          Mudah-mudahan tulisan ini menjadi jembatan kesadaran pada salah satu warisan intelektual para ulama yang saintis yang semestinya kita kembangkan. Tidak seperti peradaban Romawi yang senantiasa merubah waktu hanya untuk kepentingan politisi sesaat. Mudah-mudahan kekerdilan goresan tinta senyawa karbon ini mampu mengantarkan kita untuk menyadari dan berkolaborasi dengan para saintis mengungkap rahasia ruangwaktu secara universal di alam semesta, bukan lagi skala waktu Bumi yang berimbas pada waktu ibadah.

بسم الله الرحمن الرحيم

Bandung Citylight, Padasuka, Cicaheum

Kawasan Bandung Utara dikenal dengan udara yang sejuk dan pemandangan yang indah. Melihat hal itu, Kami menyajikan sebuah konsep hunian yang mengutamakan kenyamanan dan pengalaman yang tidak terlupakan. Bandung Citylight adalah Hunian Modern yang menggabungkan Konsep Bandung Heritage dengan Smart Resident dibangun di kawasan premium dengan hunian ekslusif menggabungkan unsur Alam dan Teknologi yang menawarkan rumah bernuansa villa yang menyajikan view Kota Bandung agar penghuninya dapat merasakan pengalaman tinggal yang terbaik. Terdiri atas area public dan area residensial. Area public terdiri dari Taman Bermain dan Masjid. Area Residensial terdiri dari Rumah Tipe Platinum dan Rumah Tipe Gold.

photo_2019-05-11_14-40-17

Hunian Bandung Citylight, Padasuka, Cicaheum

Konsep rumah dengan jendela yang besar dan penghijauan di sekitar kawasan, membuat rumah akan terasa sejuk setiap saat. Komposisi seimbang antara luas halaman dengan bangunan juga menjadi perhatian kami, dengan proporsi halaman yang lebih luas memberikan leluasa dan terbuka bagi penghuninya. Perpaduan arsitektur klasik dan teknologi modern rumah tampak terlihat pada façade rumah maupun elemen rumah lainnya demi memaksimalkan interaksi antara manusia dengan tempat tinggalnya. Hunian didesain dengan konsep sirkulasi udara dari depan ke belakang membuat ambience dalam rumah senantiasa sejuk dan ramah. Hadirnya jendela di setiap sudut rumah juga difungsikan baik untuk memaksimalkan sirkulasi udara maupun masuknya cahaya Matahari.

Baca lebih lanjut

بسم الله الرحمن الرحيم

Riwayat Shaum dan ‘Ïd

Sebaran diari posisi Matahari dan Bulan pada Ramadhän, Syawwäl, dan Dzü alHijjah tahun 1440/2019.

Dzü alHijjah

Berdasarkan data empiris, pada Maghrïb 1 Agustus 2019 TU., Bulan belum bisa diamati. Jika kita hitung dengan lokasi yang paling ujung Barat Indonesia, Pulau Sabang sekalipun, elongasi Bulan pada 4° 36′ 58″ dan ketinggian Bulan 3° 33′ 38″ atau bila dihitung dari pusat kedua objek benda langit didapatkan 4° 36′ 27″, kurang dari batas minimum standar astronomi (elongasi minimum 6,4°). Berbeda dengan Muhammadiyah, dengan konsep Wujudul Hilal, besoknya sudah masuk tanggal 1 Dzü alHijjah (2 Agustus). Sementara Pemerintah, menunggu sidang itsbat. Namun, jika dilihat dari pengalaman selama ini, apalagi masih menggunakan kriteria 2 (ketinggian), 3 (beda azimuth), dan 8 (usia Bulan), ditambah dengan banyaknya laporan yang mengaku melihat Hiläl, dipastikan sama dengan Muhammadiyyah. Jika tidak berlebihan, mungkin memerlukan keberanian yang besar untuk menolak kesaksian. Pemerintah akan sama dengan ormas PERSIS yang menggenapkan bulan Dzü alQa’dah hingga tanggal satu Dzü alHijjah bertepatan tanggal 3 Agustus. Sebab, saat Maghrïb 2 Agustus 2019 TU., coretan di atas kertas memandu kita dengan kesimpulan elongasi Hiläl pada 17° 57′ 07″ dan beda tinggi kedua objek 17° 56′ 10″, Hiläl sudah amat sangat tinggi untuk bisa dikesani oleh kasat mata sekaligus mengalahkan cahaya lembayung saat terbenam.

Syawwäl

Barisan-barisan kode perintah pada sebuah program memandu kita untuk mensilmulasikan posisi kedua objek langit dengan prediksi konjungsi (sejajar antara Matahari – Bulan – Bumi) in syã-alläh terjadi pada 3 Juni. Namun, sayangnya terjadi setelah Matahari terbenam. Padahal syarat untuk pergantian bulan pada kalender Isläm adalah konjungsi sebelum Matahari terbenam dengan mengamati Hiläl. Hal ini bisa dilakukan keesokan harinya pada 4 Juni ketika Matahari terbenam dengan perolehan data komputer mensimulasikan elongasi Hiläl pada 12° 25′ 44″ dan beda tinggi Matahari – Hiläl adalah 12° 20′ 48″. Dari hasil data ini bisa disimpulkan dengan mengacu pada kriteria astronomis PERSIS (elongasi lebih dari 6,4° dan beda tinggi lebih dari 4°), dipastikan besoknya ber’Ïdul Fithri bertepatan dengan 5 Juni 2019 TU. alhamdulilläh tiga ormas besar seperti NU, Muhammadiyyah, dan PERSIS mengamini.

Ramadhän

Alhamdulilläh, mengawali ‘ibädah shawm Ramadhän tahun 2019 TU. ini diamini oleh tiga ormas besar di Indonesia terutama NU, Muhammadiyyah, dan PERSIS. Pasalnya, coretan di atas kertas menghasilkan nilai waktu konjungsi terjadi sebelum Matahari terbenam, tepatnya ketika menjelang Shubh in syã-alläh pada 5 Mei pukul 04:08:55 WIB dengan data posisi Matahari – Hiläl dilihat dari sisi beda tingginya sebesar 6° 21′ 43″ dan elongasinya sebesar 6° 31′ 48″. Dengan data ini kemudian kita konfirmasi menggunakan data empiris astronomis PERSIS yang diadopsi dari astronomis LAPAN, sudah melewati batas minimum untuk diamati yaitu pada beda tinggi lebih dari 4° dan elongasi lebih dari 6,4°. Apalagi jika kita kotret kembali dengan pengamat berada dipaling ujung Barat Indonesia, sekalipun tidak signifikan masing-masing mewakili 6° 17′ 28″ dan 6° 59′ sehingga ada peluang untuk bisa diamati menggunakan kasat teleskop. Jadi, kita mengawali ‘ibädah shawm bersama pada 6 Mei 2019 TU. Marhaban yaa Ramadhän…

والله أعلم

الله يأخذبأيدينا إلى مافيه خير للإسلام والمسلمين

Mau beli rumah di Bandung atau kota lain?!…
Silahkan kunjungi di sini